Pelajaran tentang beras

Hari ini aku kembali bersyukur karena mencintai orang yang tepat. Yaitu Agung Wicaksono.

Di hari libur natalan kami memilih tidak kemana-mana, hanya bersih-bersih rumah kontrakan kami dan mencari-cari dimana tempat menjual genteng untuk calon rumah yang kami bangun dari 0. Aku tetap bersyukur walaupun tidak ada agenda piknik liburan panjang ini. Ada sebersit rasa iri ketika melihat teman-teman yang memposting foto-foto liburan di media sosial tetapi kondisi keuangan yang difokuskan untuk membangun rumah dapat meredam keinginan kami berlibur di akhir tahun. Mas Agung bilang kita bisa liburan setelah rumah beres -kami. Bila ada sisa uang kita bisa berjalan-jalan. :’)

Pagi ini aku berjalan ke rumah mertuaku yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku untuk mengambil beberapa kebutuhan dapurku dan pesanan beras untuk ibuku di warungnya. Kebetulan ibu dan bapak mertua punya warung. sedangkan mas Agung sedang mencari genteng.
Selesai berbelanja aku dijemput Mas Agung untuk pulang. Belanjaan kali ini cukup banyak sehingga ada 4 plastik yang harus kami bawa dengan menaiki motor.

Ketika aku turun dari motor aku cukup kewalahan membawa plastik lalu membuka pager dan mengambil kunci rumah di kantung celana. Dan tanpa sadar suamiku berteriak sambil meringis seperti ingin menangis.
“Aduh.. Plastiknya kecantol sampai sobek tuh.. Berasnya bocor”
Butiran-butiran beras sudah jatuh dari jarak motor sampai pagar rumah.
“Sinih aku pegang dulu. Aku sedih banget kalo beras kebuang-buang, sayang.” šŸ˜¦

Baru pertama kali kulihat wajah suamiku begitu bersedih, seperti kehilangan barang yang disukainya. Padahal ini hanya beras. Dan menurutnya beras itu ibarat penghidupam manusia. Tidak selayaknya terbuang sia-sia.

Aku hanya terdiam dan melihat butiran-butiran beras yang membuat jejak sendiri ditempat jatuhnya tadi.

Sampai malam harinya, ketika kami akan keluar untuk bermain di rumah keponakan kami, kondisi hujan dan kulihat butiran beras masih ada disitu, tersapu air hujan dan bercamput pasir aspal.

Sekarang, setiap aku melihat beras, aku selalu teringat wajah miris suamiku yang begitu khawatir jika ada beras terbuang-buang. Mungkin ada saatnya kita akan benar-benar memerlukan beras tapi tidak bisa. Maka ketika kita masih mampu untuk membelinya maka jangan disia-siakan atau dibuang begitu saja.

Maafkan aku, beras. Jangan marah kepada kami ya. Tetaplah ada di sepanjang hidup kami. Kami akan memakannya tanpa sisa

Suamiku benar-benar menerapkan pola hidup sederhana dengan selalu menghargai dan bersyukur apa yang kita punya.

Terimakasih Mas Agung sayang. šŸ˜˜

Leave a comment